Keinginan kuat untuk menjadi salah satu agen perubahan yang dapat mengubah wajah pendidikan nasional menjadi lebih baik, mendorong seorang mahasiswi Institut Teknologi Harapan Bangsa Bandung (ITHB), bergabung dalam sebuah program yang diinisiasi oleh lembaga pendidikan tinggi terkemuka dunia, Stanford University.
University Innovation Fellows (UIF), demikian program pemberdayaan mahasiswa ini dikenal. Sebuah langkah cerdas dari Stanford University ketika menggandeng universitas papan atas di seluruh dunia, untuk melahirkan sumber daya manusia yang kreatif, inovatif serta mampu berpikir kritis di tengah sengitnya tingkat kompetitif dunia kerja profesional hari ini.
Cintya Kristianto, anak muda yang kini tengah menempuh kuliah di ITHB dalam program studi Informatika, tergelitik ketika mencermati apa yang ditawarkan oleh UIF. Jiwa pengabdian yang ia miliki untuk mengambil peran dalam mengerek kualitas pendidikan Indonesia supaya diakui dunia internasional, menjadi pemicu berkobarnya tekad besar untuk menembus persaingan elit menjadi bagian dari Stanford University.
Sebagai seorang mahasiswa tingkat akhir, waktu adalah harta yang sangat berharga. Time management yang buruk, akan membuat semua usaha buyar percuma. Tingginya tuntutan perkuliahan di ITHB, sejatinya tidak harus ditambah lagi dengan volume kegiatan lain yang berpotensi menyita pikiran dan energi dalam urusan membagi waktu. Apalagi jika “extra menu” itu beraroma internasional yang sudah pasti, bakal menguras waktu yang sudah tersisa sedikit menjadi lebih sedikit lagi.
Cintya tidak kemudian patah semangat. Sebaliknya, ia bangkit untuk menjawab “good problem” yang ada di depan mata. Ia tahu bahwa semakin tinggi harga yang dibayar, semakin bernilai pula sesuatu yang akan ia dapatkan. Baginya, the road to success is always under construction. Dengan mantap, ia mendaftarkan diri untuk ikut Program UIF dan usahanya terbayar lunas ketika ia terpilih menjadi salah satu mahasiswa yang mengikuti program bergengsi tersebut.
University Innovation Fellows memberikan begitu banyak ilmu dan pengalaman berharga untuk Cintya. Di sana ia belajar bagaimana merancang dan membuat sebuah proyek hasil dari pengembangan inovasi baru yang dia temukan. Bimbingan dari mentor luar negeri, makin mengasah dan mempertajam intuisinya sebagai seorang profesional muda yang siap untuk berkarya baik untuk almamaternya –ITHB-, maupun bagi dunia pendidikan nasional secara luas.
Ada sebuah proyek yang kini tengah ia kembangkan untuk diaplikasikan di ITHB sebagai pilot project. Masih rahasia memang. Tapi tidak mengapa, karena ide itu memang sangat mahal.
Cintya paham betul dengan sebuah kata bijak “don’t take anything for granted”. Untuk itu, ia siap memberikan kembali apa yang menjadi hak ITHB dan bahkan masyarakat Indonesia secara holistik yaitu: kualitas pendidikan yang lebih tinggi.
“Saya senang bisa jadi bagian dari UIF karena dapat membantu teman-teman lain dalam menemukan bakat terpendam mereka. Menjadi agent of change itu merupakan tujuan yang sangat baik, terutama untuk mencerdaskan bangsa dan membawa kualitas pendidikan nasional ke level yang lebih tinggi dari yang ada sekarang ini. Generasi muda sangat membutuhkan program-program seperti UIF. Saya merasa sangat siap untuk mengaplikasikan apa yang didapat dari program ini, apalagi semua unsur di ITHB sudah menyetujui apa yang akan kami lakukan dan memberikan dukungan penuh untuk itu."
Cintya merasa sangat terbantu dengan apa yang ia peroleh dari tempatnya menimba ilmu saat ini, ITHB. Ia bercerita bagaimana ia dipersiapkan dan diperlengkapi untuk mampu bersaing dan menyesuaikan gaya belajar ala Stanford University. Ada banyak tantangan karena lebarnya perbedaan, mengingat rekan-rekannya datang dari segala penjuru dunia dengan ragam budaya serta cara berpikir yang berbeda. Belum lagi dengan materi paling mutakhir dari Stanford University.
Mampukan ia untuk menyesuaikan diri?
Jawabannya sama pasti dengan absolutnya hukum gravitasi. Cintya mampu dan bahkan menikmati kurikulum baru yang ia temui. Menurutnya, mata kuliah Leadership dan CRC di ITHB, sangat relevan dan berhubungan dengan menu kuliah selama ikut program UIF. Ia tidak menemukan kesulitan untuk menempatkan dirinya dalam alur pendidikan Stanford, karena sudah sangat baik dipersiapkan oleh ITHB.
Kepercayaan dirinya membuncah meskipun tak jarang harus “berjibaku” dengan mahasiswa lain dari luar negeri, ketika harus mempertahankan ide dan gagasan yang ia miliki. Namun di sisi koin yang lain, Cintya juga begitu lugas dan terbuka dalam menerima masukan serta gagasan rekan-rekannya untuk kemudian diramu menjadi ide matang yang siap untuk diimplementasikan menjadi karya nyata.
Bagi Cintya, ”hingar bingarnya” UIF bukanlah hal yang sulit. Sebaliknya ketika ditanya, ia malah menjawab singkat, ”Itu pengalaman uniknya…”
Di ujung kisah inspiratifnya, Cintya mendorong anak-anak muda di Indonesia untuk berani mencoba masuk dan menjajal Program UIF ini. Baginya, ada banyak anak negeri yang memiliki kemampuan mumpuni untuk taklukkan tantangan tak peduli seberapa tingginya kesulitan yang dihadapi.
“Beranilah mencoba dan jangan menyerah!”